Selamat Datang

Salam damai sejahtera dari kami untuk para pembaca sekalian. Blog ini mulai kami buat di awal tahun 2010 dengan tema Melangkah Bersama Tuhan. Nama Blog ini sesuai dengan harapan dan komitmen kami untuk menjalani tahun 2010 bersama dengan Tuhan yang menciptakan langit dan bumi, dan menciptakan manusia sebagai umat kemuliaan-Nya.

Kami akan menyajikan renungan-renungan yang kami buat sendiri berdasarkan pengalaman pribadi, pendengaran dari orang lain yang diolah, maupun dari bacaan-bacaan yang kami dapat.

Selamat membaca, dan semoga membawa berkat bagi Anda semua.

Salam dari kami,

Julianto Djajakartika

Tuesday 21 December 2010

26. Menyikapi Kepedihan

Bagian dari kisah Natal versi Matius mengenai pembunuhan bayi-bayi berumur 2 tahun ke bawah adalah bagian yang sulit untuk dimengerti. Seperti dicatat oleh Matius “ Ketika Herodes tahu, bahwa ia telah diperdayakan oleh orang-orang majus itu, ia sangat marah. Lalu ia menyuruh membunuh semua anak di Betlehem dan sekitarnya, yaitu anak-anak yang berumur dua tahun ke bawah, sesuai dengan waktu yang dapat diketahuinya dari orang-orang majus itu. Dengan demikian genaplah firman yang disampaikan oleh nabi Yeremia: "Terdengarlah suara di Rama, tangis dan ratap yang amat sedih; Rahel menangisi anak-anaknya dan ia tidak mau dihibur, sebab mereka tidak ada lagi."”

Mengapakah sukacita kelahiran sang Juru Selamat harus dikontraskan dengan pembunuhan bayi? Mengapakah sukacita para Majus harus diiringi oleh tangisan ibu-ibu yang kehilangan anaknya? Apakah kejadian pembunuhan ini benar-benar terjadi? Yosefus, seorang ahli sejarah tidak pernah mencatat adanya kejadian pembunuhan bayi. Tetapi melihat kejadiannya, memang cocok dengan pribadi Herodes, seperti yang sudah saya uraikan di tulisan terdahulu berjudul Herodes. Ada kemungkinan sejarah memang tidak mencatat pembunuhan bayi karena bukan sebuah peristiwa luar biasa waktu itu. Betlehem adalah kota kecil. Penduduknya juga sangat sedikit. Sehingga waktu itu, bayi yang berumur 2 tahun ke bawah tidaklah banyak. Barangkali tidak lebih dari 20 anak, sehingga memang tidak masuk dalam catatan sejarah. Akan tetapi Matius mencatatnya. Dan pasti ada maksudnya.

Kuncinya barangkali ada pada kutipan dari Yeremia 31:15. Kejadian yang dikutip itu adalah perjalan bangsa Isreal menuju Babel ketika pembuangan terjadi. Rachel dianggap sebagai ibu bangsa Israel. Rachel dikuburkan di Rama, di pinggir jalan menuju Betlehem. Oleh karena itu, dibayangkan bahwa Rachel menangis dari dalam kubur melihat anak-anaknya berjalan menuju Babel untuk dibuang. Bagian inilah yang dikutip oleh Matius untuk melengkapi ceritanya. Namun sebetulnya cerita itu belum selesai. Sengaja atau tidak sengaja Matius tidak meneruskan ayat yang ke 16 dan ke 17. Nampaknya disitulah intinya. Yeremia 31:16-17 itu berbunyi : “Beginilah firman TUHAN: Cegahlah suaramu dari menangis, dan matamu dari mencucurkan air mata, sebab untuk jerih payahmu ada ganjaran, demikianlah firman TUHAN; mereka akan kembali dari negeri musuh. Masih ada harapan untuk hari depanmu, demikianlah firman TUHAN: anak-anak akan kembali ke daerah mereka.” Masih ada harapan. Kelahiran Kristus selalu membawa pengharapan baru. Ketika dunia ditutupi kegelapan, cahaya terang bayi mungil Yesus Kristus membawa pengharapan. Hati yang beku dilunakkan. Mata yang buta dicelikkan. Orang yang lumpuh mampu berjalan. Dan mereka yang seolah tanpa pengharapan, penjahat seumur hidup, tergantung di kayu salib pun akhirnya tinggal bersama-sama dengan Yesus di dalam Firdaus.

*****

Ketika bencana tanah longsor menimpa Papua Barat, Wasior, banyak korban yang meninggal dunia. Sulit mencapai daerah itu, dari kota pelabuhan terdekat. Namun, disitu ada seorang muda dengan perahunya. Katakanlah namanya Antonius. Dengan setia dia mengantarkan orang-orang yang hendak membantu ke daerah Wasior. Biayanya sangat murah. Cukup biaya bensin pergi pulang saja. Kapan saja, setiap saat Antonius bersedia berangkat. Ketika Antonius ditanya, kenapa dia mau membaktikan diri seperti itu? Dia menjawab, “Karena aku bagian dari mereka yang selamat.” Orang tua, saudara dan kerabatnya semua meninggal dalam musiah itu. Hanya dia sendirian yang selamat karena sedang berada di luar kota. Itulah cara Antonius menyikapi kepedihan hatinya. Bukan dengan diam dan meratap, tetapi dengan berbuat sesuatu untuk sesamanya. Dengan berbuat seperti itu, hidupnya jadi berarti. Cahaya harapan tetap menjelang.

Kisah bencana pembunuhan bayi yang menyertai kelahiran Kristus tidak perlu disikapi dengan kesedihan dan keheranan. Ada pelajaran disana agar kita selalu melihat, dan berbuat sesuatu sebab hidup itu anugerah.

No comments:

Post a Comment