Selamat Datang

Salam damai sejahtera dari kami untuk para pembaca sekalian. Blog ini mulai kami buat di awal tahun 2010 dengan tema Melangkah Bersama Tuhan. Nama Blog ini sesuai dengan harapan dan komitmen kami untuk menjalani tahun 2010 bersama dengan Tuhan yang menciptakan langit dan bumi, dan menciptakan manusia sebagai umat kemuliaan-Nya.

Kami akan menyajikan renungan-renungan yang kami buat sendiri berdasarkan pengalaman pribadi, pendengaran dari orang lain yang diolah, maupun dari bacaan-bacaan yang kami dapat.

Selamat membaca, dan semoga membawa berkat bagi Anda semua.

Salam dari kami,

Julianto Djajakartika

Sunday 12 December 2010

17. Los Felidas

Buletin Mercusuar edisi 11, Desember 2009 memuat kisah dengan judul di atas. Kisah tersebut sudah lama beredar di intenet secara anonim. Tidak diketahui lagi siapa yang pertama kali menuliskan kisah tersebut. Kisah ini berusaha memotret kekumuhan dan kemiskinan yang kemudian coba dikontraskan dengan kemewahan bercampur kerinduan akan kasih sayang seorang anak terhadap ibunya. Latar belakang Natal membalut keseluruhan kisah tersebut.

Tidak ada yang tahu darimana asal ibu dan anak perempuannya yang masih sangat kecil itu. Mereka memang bukan penduduk situ. Suami ibu itu yang membawa mereka dan kemudian meninggalkannya berdua, berjuang untuk hidup di tempat paling kumuh di pojokan kota. Ketika uang simpanan sudah habis, sang ibu berusaha mencari pekerjaan serabutan sementara anaknya di tinggal dalam rumah dari kardus-kardus bekas. Berbalutkan kemiskinan dan kelaparan, beberapa pengemis lain menculik anak gadis itu. Membawanya pergi sangat jauh, mendandani dan menjualnya kepada sebuah keluarga kaya raya yang tidak dapat mempunyai anak.

Anak kecil kumuh itu kemudian diberi nama Serafonna. Dia tumbuh besar dan sehat. Hidupnya berkelimpahan dengan harta dan kasih sayang orang tua asuhnya. Tidak terasa, dua puluh lima tahun sudah berlalu. Kini anak itu sudah dewasa, dan menikah dengan gubernur di daerah itu. Kehidupannya semakin gemilang. Namun suatu hari, ketika orang tua asuhnya meninggal, dia melihat sebuah foto kumal. Foto bayi dengan anting-anting sebelah kiri. Ingatannya mulai bergulir ke masa-masa 25 tahun yang lalu. Dia mulai mencocokkan anting di foto itu dengan koleksi pribadi yang sudah lama tidak pernah disentuhnya. Cocok. Bayi dalam foto itu adalah dirinya. Lalu siapa orang tua aslinya? Siapa ibunya? Gelegar dan gejolak hati yang membahana membuat Serafonna mengajukan permintaan yang luar biasa kepada suaminya. Sebarkan berita ke seluruh penjuru kota untuk mencari ibunya. Berhari-hari tidak ada kabar apa-apa. Ketika Serafonna sudah mulai putus asa, tiba-tiba telpon berdering. Ada harapan. Ada orang yang melihat wujud seorang ibu seperti yang Serafonna pernah gambarkan.

Rombongan gubernur beserta polisi dan ambulan beriringan menuju daerah yang ditunjuk. Sebuah daerah di ujung kota, di ujung jalan. Tempat yang sangat-sangat kumuh. Bau menyengat di mana-mana. Diujung jalan di tengah tumpukan sampah nampak seorang ibu tua yang sudah sekarat. Tidak bergerak namun masih hidup. Serafonna mendekat coba memastikan. Mama….begitu bisiknya. Orang tua itu sedikit bergerak. Serafonna segera memperlihatkan anting-anting kiri yang dia miliki. Nampak berusaha tersenyum sang ibu membuka tangannya. Anting-anting kanan yang sudah menghitam. Dua puluh lima tahun sang ibu mencari anaknya. Antara gila dan waras dia tak pernah berhenti berdoa untuk kebahagiaan dan kesejahteraan hidup anaknya. Mama…!!! Tanpa ragu dan jijik Serafonna memeluk orang tua itu. Diletakkannya kepalanya ke dada ibunya. Dada yang dia ingat memberikan kehangatan di hari-hari musim dingin bulan Desember. Dada yang selalu dia rindukan selama ini. Mama…jangan pergi ma….
Namun degub jantung yang sempat menguat itu akhirnya melemah dan diam. Ibu itu telah pergi dengan tenang di bawah siraman salju lembut putih bak kapas. Senyum membayang di bibirnya. Penantiannya selama seperempat abad telah membawa hasil. Langit bulan Desember menjadi saksi. Allah yang hadir dalam bentuk bayi Kudus telah mengantarkan anaknya kembali. Jalan di mana ibu itu tinggal adalah Los Felidas.

Los Felidas ada di mana-mana. Bertahun-tahun lalu saya dan keluarga juga pernah membagikan nasi bungkus kepada mereka-mereka yang sangat miskin. Malam menjelang Natal yang sangat dingin tidak menghalangi hati kami yang membara bersama dengan Roh-Nya menjenguk mereka yang terpuruk, di emperan toko, di pinggir-pinggir rel kereta api Bekasi.

No comments:

Post a Comment