Selamat Datang

Salam damai sejahtera dari kami untuk para pembaca sekalian. Blog ini mulai kami buat di awal tahun 2010 dengan tema Melangkah Bersama Tuhan. Nama Blog ini sesuai dengan harapan dan komitmen kami untuk menjalani tahun 2010 bersama dengan Tuhan yang menciptakan langit dan bumi, dan menciptakan manusia sebagai umat kemuliaan-Nya.

Kami akan menyajikan renungan-renungan yang kami buat sendiri berdasarkan pengalaman pribadi, pendengaran dari orang lain yang diolah, maupun dari bacaan-bacaan yang kami dapat.

Selamat membaca, dan semoga membawa berkat bagi Anda semua.

Salam dari kami,

Julianto Djajakartika

Monday 30 May 2011

Hidup atau Mati

Coba Anda tarik garis lurus dari kiri ke kanan. Lalu tuliskan di ujung kiri kata “hidup” maka di ujung kanan sebagai lawannya adalah kata “mati”. Terus apa yang mesti kita tuliskan di antaranya? Banyak hal dapat kita isikan diantara awal kehidupan dan di akhir perjalanan itu, baik itu bernuansa kehidupan maupun bernuansa kematian.

Beberapa waktu lalu, kami menerima sebuah benih pohon mangga. Dengan senang hati kami coba tanam pohon mangga kecil tersebut di sudut rumah. Tempat yang kami anggap cocok untuk pertumbuhannya nanti jika semakin besar. Senang kami memperhatikan pohon tersebut bertumbuh. Kami siram, terkadang kami potong dahan-dahannya agar tumbuh dahan baru yang tidak menjulang ke atas, tetapi ke samping. Daun-daun muda berbau mangga menyegarkan ketika kami memandanginya. Nuansa kehidupan terasa kental disitu.
***
Di zaman internet seperti sekarang ini, kita dapat mencari berita apa saja dari internet. Tinggal “googling” saja muncul banyak hal yang dapat menjadi referensi kita. Namun, ketika kita mendapatkan tugas untuk menuliskan sebuah laporan atau karya tulis, tentu tidak layak dan tabu jika kemudian tinggal “click” dan “copy paste” saja dari internet. Ketika seorang guru menghadapi murid yang ketahuan mencontek tugas langsung dari internet, dia punya paling tidak dua pilihan untuk memberi pengertian muridnya. Guru dapat berkata:

“Engkau mengambil tulisan ini langsung dari internet. Bodoh sekali kamu. Kan kamu sudah tahu aturannya. Dengan demikian, kamu membuat dirimu sendiri mendapat nilai E. Langsung saat ini juga tanpa kecuali!”

Ya. Itu pilihan pertama yang dapat dilakukan oleh sang guru. Namun masih ada pilihan lain yang dapat diucapkan oleh sang guru. Misalnya demikian:

“Wah, tentu kamu sudah banyak sekali membaca artikel dari internet ya sebelum kamu mengambil yang satu ini. Saya setuju bahwa artikel yang kamu ambil ini sesuai dengan pembahasan kita. Tapi saya tidak dapat memberikan nilai yang cukup, karena bukan kamu sendiri yang menulisnya. Tapi saya menyukainya. Jika kamu mau menuliskan kembali artikel ini dengan kata-katamu sendiri dan memberikan alasan yang jelas kenapa kamu menyukainya, saya akan menerimanya. Saya tidak ingin kalian lepas dari internet, karena banyak hal dapat dipelajari dari sana, tapi setiap kali kamu mengambil bahan dari internet, coba tuliskan sumbernya dan ceritakan kenapa artikel yang kamu ambil itu menarik bagimu.”

Bagaimana? Nuansa kehidupan sungguh kental dalam pilihan ucapan sang guru bagian kedua. Tegas, namun mendidik.¬¬
***
Pagi hari pukul 6:45 di perempatan jalan Pramuka dan Pemuda, sambil menunggu lampu menyala hijau saya melihat seorang ibu muda menggendong anak yang masih kecil. Dia mencoba meminta uang dari mobil-mobil di depan saya. Saya memperhatikan perilaku ibu ini: cara dia menggendong anak itu lain dari peminta-minta biasa. Sudah sangat sering saya melihat ibu yang menggendong anak, asal-asalan saja sambil berjalan kesana-kemari mencari simpati orang. Ibu ini lain. Dia menggendong anaknya dengan lembut enak. Kadang kepala anaknya dipegang untuk membetulkan posisinya, kadang menutup mata anak agar tidak terkena sinar matahari langsung, kadang mencoba mendekap erat anaknya sambil mencium ubun-ubunnya. Saya menduga, anak itu betul-betul adalah anaknya dan bukan "sewaan".

Sampailah dia di sebelah mobil saya dan mulai menggoyangkan tangan membunyikan "icik-icik" yang terbuat dari botol plastik diisi pasir. Teringat himbauan agar tidak memberikan uang pada anak jalanan, melainkan makanan, atau susu atau apa saja yang bisa langsung dirasakan manfaatnya oleh anak jalanan, dan sekaligus dapat membantu agar anak tidak kekurangan gizi, maka kemudian saya mencari-cari apa yang dapat saya berikan. Akhirnya saya serahkan sebuah jeruk, bekal sarapan pagi.

Ibu itu mengucapkan terima kasih sambil menundukkan kepalanya. Dia cium-ciumkan jeruk itu ke hidung anaknya, lalu dia cium juga sendiri. Ibu itu segera menyelinap lenyap dan tidak melanjutkan meminta-minta ke mobil-mobil di belakang saya. Dugaan saya, dia segera akan mengupas jeruk itu untuk diberikan kepada anaknya. Nuansa kehidupan mengalir segar di pagi hari itu (tulisan lama sekitar tahun 2006).
***
Banyak dari kita mestinya tahu betapa menderitanya bila ban kendaraan yang kita tumpangi tiba-tiba kempis karena terkena paku, baik yang sengaja ditebar maupun yang tidak sengaja. Nah, suatu pagi ketika saya berjalan-jalan pagi di perumahan bersama isteri, saya melihat sebuah paku besar tergeletak di tengah jalan. Ingat pengalaman ban kempis tertusuk paku, segera saya ambil paku tersebut dan membuangnya di tempat yang aman. Nuansa kehidupan di pagi hari itu membantu saya tersenyum gembira.
***
Hidup bukanlah mengejar kematian. Hidup adalah mengejar kepantasan.

Wednesday 18 May 2011

Kerajaan Allah

Kata Kerajaan Allah banyak kita jumpai di dalam Alkitab. Salah satu Injil yang paling banyak menyebutkan kata itu adalah Injil Matius. Oleh karena itu, tulisan ini akan banyak mengutip atau menggunakan referensi Injil Matius. Kata Kerajaan Allah dalam bahasa Yunani disebut Basileia Tou Theou. Kata Basileia ini memiliki dua arti: kerajaan dan juga takhta. Kedua kata tersebut mencerminkan adanya suatu pemerintahan – pemerintahan Allah. Dengan demikian Basileia Tou Theou memiliki arti “Tuhan Allah duduk memerintah di atas takhta Kerajaan-Nya sebagai Raja.

Bila demikian arti kata Kerajaan Allah, lalu apa maknanya bagi kita semua? Salah satu makna yang muncul dalam Alkitab adalah seperti yang tertulis dalam Matius 6:33 “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” Dua hal dapat kita pelajari dari kutipan tersebut. Pertama, bahwa Kerajaan Allah itu sendiri jauh melebihi segala hal dalam kehidupan ini, maka “carilah dahulu” dan tidak perlu mencari yang lain, sebab lainnya akan segera ditambahkan (baca: diberikan) ketika Kerajaan Allah sudah kita temukan. Kedua, berkenaan dengan “kebenaran” dari Kerajaan Allah itu. Kata kebenaran ini dalam bahasa aslinya adalah dikaiosune. Kata ini selain berarti kebenaran juga memiliki arti keadilan. Dengan demikian, kita dapat mengerti bahwa Kerajaan Allah itu selain benar juga adil. Maka Kerajaan Allah yang melebihi segala sesuatu dalam hidup kita itu merupakan pemerintahan yang dilandasi sepenuhnya oleh kebenaran yang adil dan keadilan yang benar . Betapa bedanya dengan pemerintahan manusia.

Selain kebenaran dan keadilan pemerintahan Allah yang sungguh berbeda dengan pemerintahan manusia, perbedaan lainnya adalah “cara” atau “bagaimana” Allah memerintah. Dalam doa yang diajarkan oleh Yesus kita mengenal kata-kata “Bapa kami yang di sorga…..datanglah kerajaan-Mu…” Dari penggalan kalimat bahkan dari keseluruhan ajaran Yesus, kita mengerti bahwa Allah yang memerintah itu adalah juga Bapa kita semua. Artinya Dia menjalankan pemerintahan-Nya selayaknya seorang Bapa. Luar biasa bukan? Ajaran ini adalah murni ajaran Yesus sendiri. Tidak ada orang lain atau nabi lain yang berani mengajarkan sedemikian. Dengan demikian kebenaran dan keadilan (dikaiosune) dalam kuasa Kerajaan Allah adalah kebenaran dan keadilan seorang Bapa .
Sejalan dengan perintah Yesus untuk “mencari Kerajaan Allah” berarti pemerintahan Allah itu harus hadir di tengah-tengah kita. Pemerintahan Allah bukan sesuatu yang mengawang di sana, tetapi sesuatu yang hadir di sini. Siapakah yang menghadirkan Kerajaan Allah di bumi ini? Kristus! Ya. Yesus Kristus adalah pusat Kerajaan Allah. Banyak pernyataan dalam injil yang mengatakan bahwa “Anak manusia” yang adalah Yesus sendiri akan datang sebagai Raja (Mat 16:28, Mat. 25:31 dan Injil yang lain yaitu Lukas 11:20 dengan penekanan pada Aku -Yesus). Jadi fokus keseluruhan kesaksian Perjanjian Baru adalah bahwa pribadi dan karya Yesus Kristus merupakan pengejawantahan Kerajaan Allah yang hadir dalam sejarah kehidupan manusia. Melalui Yesus Kristus, manusia dapat melihat dan mengenal BAPA dalam diri sang ANAK .

Sang Anak yang hadir di tengah-tengah kita tentu bukan sekadar menghadirkan pemerintahan Allah saja, tetapi memiliki sebuah misi. Misi ini adalah misi keselamatan seperti yang ditulis dalam Matius 1:20-21. Misi keselamatan ini tidak dapat dijalankan tanpa sebuah proses yang menyakitkan: kematian di atas kayu salib. Oleh karena itu, dapat dikatakan misi Kerajaan Allah adalah salib itu sendiri, atau dengan kata lain, hidup sampai dengan kematian-Nya, Yesus Kristus berkarya untuk menyelamatkan umat manusia.

Dari uraian di atas kita tahu bahwa Kerajaan Allah itu sudah ada di dalam dunia ini. Demikian pula ketika kita mengamati ucapan Yesus di Matius 4:17 “Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!” Kata sudah dekat ini dalam bahasa Yunani eggiken juga berarti sudah tiba. Ya. Kerajaan Allah nyata dalam hidup dan pelayanan Yesus Kristus. Oleh karena itu Yesus memanggil orang-orang untuk bertobat dan menyesuaikan diri pada situasi baru itu, yaitu untuk mengakui dan menerima Allah sebagai Raja atas kehidupan mereka/kita .

Namun demikian, ketika kita memanjatkan Doa Bapa Kami misalnya, salah satu ungkapannya adalah “…..datanglah Kerajaan-Mu….” Yang bisa diartikan bahwa Kerajaan Allah itu memang belum hadir. Bagaimana menjelaskan perbedaan keduanya? Keduanya benar. Jadi Kerajaan Allah itu telah didirikan dalam hidup dan pelayanan Yesus namun masih akan dipenuhi secara sempurna dalam kedatangan-Nya yang kedua .

Selayaknya sebuah pemerintahan tentu memiliki warga. Dari mana warga Kerajaan Allah itu? Kita ingat pada awal pelayanan Yesus, Dia memanggil para murid-Nya. Dalam injil Lukas malah dicatat bahwa Yesus memanggil lebih banyak murid lagi (Luk 10:1). Untuk apa? Untuk diutus oleh Yesus: mengabarkan Injil. Nah, para murid dan mereka yang menjadi percaya oleh karena pemberitaan Injil inilah warga Kerajaan Allah. Mereka adalah jemaat Allah. Maksud dari jemaat di sini adalah orang-orang yang telah dipanggil keluar oleh Allah dari dunia ini untuk membaharui dunia dalam iman kepada Yesus Kristus .

Selain warga, sebuah pemerintahan juga tentunya memiliki aturan-aturan dan hukum-hukum yang berlaku untuk dikerjakan oleh seluruh warganya. Kerajaan Allah juga memiliki hukum-hukum tersebut. Tentu hukum yang berasal dari Allah sendiri. Hukum tersebut mewujud dalam Hukum Taurat dan seluruh kitab para nabi. Namun, bukan hanya itu saja. Ketika Yesus mulai mengajar, Dia mulai mengenalkan hukum Allah yang baru. Hukum Allah yang baru itu dapat kita lihat dan pelajari dalam khotbah Yesus di bukit dalam Matius 5-7. Sebagai contoh bila hukum Taurat mengajarkan “Jangan berzinah”, maka Yesus mengajarkan “Tetapi Aku berkata kepadamu, setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya” (Mat 5:27-28). Masih banyak lagi perintah-perintah baru dari Yesus yang bertujuan membuat kita sempurna di hadapan Allah. Begitu keras kedengaran perintah Yesus ini dan sepertinya sulit untuk dikerjakan. Namun, perlu kita ingat kembali bahwa pemerintahan Kerajaan Allah ini dikuasai oleh seorang Raja yang sekaligus berhati Bapa. Dia sendiri akan memampukan kita yang terpanggil untuk hidup sesuai dengan hukum-hukum-Nya asalkan kita hidup berpadanan dengan ajaran-Nya dan hidup dalam kasih kepada Allah dan sesama. Kasih yang AGAPE, tanpa pamrih, mengosongkan diri dan berani berkorban untuk kepentingan orang lain.

Demikianlah uraian singkat mengenai Kerajaan Allah. Sebagai kesimpulan akhir, kita dapat mengerti bahwa pemahaman akan Kerajaan Allah ini memiliki beberapa konsekuensi dalam kehidupan spiritual kita.

a) Hidup kita seluruhnya berada di bawah pemerintahan Allah yang adil dan benar.
b) Raja kehidupan kita bukan kuasa-kuasa dunia dan egoisme kita, tetapi Tuhan Allah. Karena itu kita terpanggil untuk mewujudkan kebenaran dan keadilan Allah.
c) Relasi kita dengan Allah bukan relasi seorang Penguasa dengan para hamba-Nya (budak), tetapi relasi kita dengan seorang Bapa (ayah) yang rahmani. Karena itu kita datang menghampiri Dia tidak dengan perasaan takut, tetapi dengan perasaan hormat dan kasih.
d) Kita dapat menampakkan tanda-tanda kehadiran Kerajaan Allah yang penuh dengan syalom (damai sejahtera dan selamat), adil dan benar, bila kita merajakan Kristus. Sebab Yesus Kristus adalah pusat Kerajaan Allah. Tanpa Dia, kita tidak dapat mencapai kebenaran Kerajaan Allah.
e) Sebagaimana Yesus Kristus menghayati kehidupan-Nya sebagai kehidupan yang disalibkan, maka kita sebagai anak-anak-Nya memiliki panggilan yang sama. Kita terpanggil untuk menyangkal diri, memikul salib setiap hari dan mengikuti jejak dan langkah Kristus.
f) Dasar penghayatan iman kita bukan amal-ibadah dan prestasi rohani atau kesucian kita, tetapi peristiwa penebusan Yesus Kristus di atas kayu salib. Jadi peristiwa salib menjadi sumber kekuatan iman kita ketika kita secara manusiawi merasa lemah dan gagal.
g) Ini berarti iman kita didasarkan pada suatu realitas sejarah sebab Kerajaan Allah telah tiba di dalam Yesus Kristus. Oleh karena itu, iman kita harus merupakan pengharapan ke masa depan agar dalam pengharapan iman itu kita bersama-sama merealisasikan proses pemenuhan Kerajaan Allah, sehingga menjadi realitas sejarah “langit yang baru dan bumi yang baru.”
h) Tugas panggilan dan perjuangan ini bukan kepada individu-individu secara lepas, tetapi sebagai persekutuan jemaat, sebab melalui jemaat-jemaat Kristus, Allah menyatakan Kerajaan-Nya.


Sumber: Tuhan Ajarlah Aku, Y. Bambang Mulyono, BPMS GKI Jatim, 1993

Wednesday 11 May 2011

Pak Ujang

Pak Ujang (bukan nama sebenarnya) masih kelihatan gesit dan sigap walaupun usianya sudah beranjak kepala lima. Perkenalan kami dimulai ketika kami memerlukan air minum dalam kemasan galon. Sudah beberapa kali kami berganti toko untuk membeli air minum tersebut karena “service” yang kurang memuaskan.

Sebetulnya permintaan kami tidak aneh-aneh, minta galon yang bersih. Itu saja. Entah kenapa toko-toko lain merasa tidak mampu atau tidak mau memenuhi permintaan tersebut. Ketika kami mencoba membeli dari toko dimana pak Ujang bekerja – kami puas. Pak Ujang khususnya sangat mengerti kebutuhan kami, sehingga dia selalu memilihkan galon terbaik untuk kami. Bahkan lebih dari itu.

Suatu hari, ketika kami memerlukan air galon lagi, kami belum sempat menelpon ke toko pak Ujang. Kami hanya menaruh galon saja dekat pintu dapur yang menghadap ke luar. Beberapa waktu kemudian, ketika kami sedang bersih-bersih di dalam rumah, tiba-tiba terdengar suara mobil di luar. Ketika kami tengok dari jendela, tampak pak Ujang turun dari mobil. Kami pun segera keluar dan menyapa, “Siang pak. Kok berhenti di sini?” “Kan bapak mau beli air galon...” begitu jawab pak Ujang. “Bagaimana pak Ujang tahu kami mau beli air galon?” “Tuh, saya lihat galon dua buah ditaruh dekat pintu dapur.” Jawab pak Ujang lagi sambil tersenyum ceria. Selesai menyerahkan dua galon, pak Ujang tampak mencari-cari sesuatu di saku bajunya. Ah...ternyata mencari tisu pembersih. “Sebentar saya ambil tisu yang benar...” begitu katanya. “Tidak usah pak, yang itu juga tidak apa-apa..!” “Tidak bisa begitu pak. Kalau merek A, ya tisunya harus A..” begitu sahutnya sambil berlari ke arah mobilnya. Tisu yang benar akhirnya kami terima dengan baik.

Itulah beberapa kelebihan “service” pak Ujang sehingga kami betah membeli air galon darinya. Beberapa hari lalu, tiba-tiba pak Ujang datang lagi ke rumah kami. Terjadilah dialog singkat seperti ini.

“Pak, beli air galon?” pak Ujang tiba-tiba bertanya.
“Besok saja.” Saya menjawab singkat.
“Sekarang saja, pak.”
“Tidak cukup saya mengosongkan galon. Tanggung. Besok saja.” Demikian saya beralasan.
“Baiklah kalau begitu.” Kata pak Ujang mengalah.

Ternyata besok harinya pak Ujang tidak datang. Kami tunggu sehari lagi, tidak datang juga. Ketika kami menelpon ke toko tempat dia bekerja, kami mendapat informasi bahwa pak Ujang telah keluar dan tidak bekerja disitu lagi. Hari ketika pak Ujang tiba-tiba datang ke rumah adalah hari penjualan terakhir. Menyesal kami tidak membeli air galon pada waktu itu, karena menurut yang empunya toko seluruh penjualan hari itu menjadi uang pesangon bagi pak Ujang.

Sunday 8 May 2011

Keputusan

Malam hari sebelum tidur tiba-tiba hape saya berbunyi. Seseorang mengirim SMS mengabarkan bahwa di sebuah GKI akan diadakan doa bersama dengan nyanyian Taize. Saya langsung mencatat hari dan jamnya. Beberapa hari kemudian, ternyata dalam Warta Jemaat juga muncul berita yang sama. Doa bersama dengan nyanyian Taize, akan tetapi lokasi bertambah satu buah yang sudah saya kenal. Sebuah SD Katolik di daerah Pasar Baru. Lokasi inilah yang akhirnya menjadi pilihan saya.

Acara dimulai dengan berkumpul di sebuah aula. Tikar-tikar sudah digelar. Bagi yang tidak biasa duduk bersila, dapat menempati tempat duduk berupa bangku panjang di pinggiran aula tersebut. Seorang aktivis mengajak kami bernyanyi tanpa iringan musik. Sesudah beberapa lagu, tampil seorang bruder dari Taize Prancis. Dia membagikan kisah perjalanannya ke beberapa negara, dan kemudian mengajak kami membagi diri dalam beberapa kelompok. Kelompok Kegembiraan, kelompok Belaskasihan, dan kelompok Pengampunan. Saya menggabungkan diri dalam kelompok Pengampunan. Sesuai dengan nama kelompok, kami diminta untuk melakukan sharing. Tentu sharing dalam kelompok saya adalah berkenaan dengan pengampunan. Ada dua sharing yang hendak saya bagikan disini.

Kesaksian-1
Seorang ibu menceritakan pengalamannya. Katakanlah ibu Aping namanya. Ketika dia mengandung anaknya yang ke tiga, kondisi keluarganya sedang dilanda kekacauan. Hubungan dengan suami tidak harmonis, ditambah lagi kondisi ekonomi yang merosot drastis. Oleh karena itu, dia memutuskan untuk menggugurkan kandungannya. Karena ibu Aping seorang yang cukup terpelajar, dia tidak mau sembarangan menggugurkan kandungan. Harus seorang dokter! Begitu pikirnya. Maka dicarilah kesana-kemari dokter yang mau menggugurkan kandungan. Sudah cukup lama mencari tidak seorang dokter pun yang bersedia. Teman-temannya ada yang mengusulkan untuk menggugurkan di bidan atau dukun. Tapi dia menolak. Akhirnya kandungan itu pun semakin besar, dan dibiarkannya lahir dengan normal.

Masalah tidak berhenti disitu. Ibu Aping mengalamai “luka batin” yang mendalam. Dia selalu dihantui oleh rasa bersalah yang luar biasa. Mimpi buruk pun tidak pernah hilang dari tidurnya. Walaupun dia sudah mengaku salah, mengaku dosa dengan seorang romo, tetap hatinya tidak bisa lepas dari rasa bersalah. Di lain pihak, anak ke-3 yang dilahirkan juga mengalami “luka batin” yang sama. Anak ini selalu saja sakit-sakitan. Walaupun ketika dibawa ke dokter, tidak pernah ditemukan ada penyakit dalam tubuhnya. Akhirnya seorang romo memberikan satu nasehat yang sulit. Ibu Aping harus bicara dengan jujur kepada anak ke-3 itu tentang pergumulannya sewaktu mengandung dirinya. Bertahun-tahun ibu Aping menyiapkan mentalnya untuk bicara, sambil menunggu juga kesiapan anaknya. Waktu itu tiba. Dengan dukungan doa dari romo dan teman-temannya, ketika anak itu mulai masuk kelas 1 SMP, berceritalah dia kepada anaknya. Terkejut campur senang, ternyata anak itu dapat menerima segala sesuatu yang diceritakan. “Tidak apa, ma. Segalanya sudah terjadi. Saya sudah dilahirkan. Saya tetap akan menjadi anak yang baik bagi mama dan keluarga.” Meledaklah ibu Aping dengan tangisan bahagia. Dipeluknyalah anak itu. Sejak saat itu, lepaslah segala ikatan rasa bersalah dalam hati ibu Aping. Dan, anak itupun terbebas dari sakit penyakit yang selama ini menggerogoti tubuhnya. Sekarang anak itu telah tumbuh dewasa, sudah bekerja dengan tubuh jiwa yang sehat – dan benar-benar menjadi tumpuan kebahagiaan keluarga tersebut.

Kesaksian-2
Ibu ini tampak sederhana. Wajahnya yang sudah mulai renta menunjukkan guratan duka, namun dibalik itu semua, kelihatan juga cahaya sukacita. Katakanlah dia bernama ibu Debora. Ibu Debora ini juga mengalami konflik dengan ibunya dari sejak kecil. Dia sebagai anak perempuan satu-satunya di tengah tiga anak laki-laki. Konflik yang terjadi antara ibu Debora dan ibunya tidak jelas asal dan awalnya. Hampir semua yang dikerjakan oleh ibu Debora salah di mata ibunya. Maka selalu ada bentakan, koreksi, pengusiran dari rumah, bahkan dibiarkan kelaparan.

Ibu Debora menjalani kehidupannya dari hari ke hari tanpa sukacita ketika berada di dalam rumah. Ketika dia beranjak dewasa dan mulai mengerti apa yang baik dan harus dilakukan, dia pun mencoba melakukannya di rumah. Dari mulai mengerjakan pekerjaan rumah tangga, sampai menyapa dan bicara dengan ibunya. Terkadang suasana tampak baik dan indah, namun tidak berlangsung lama kembali lagi ke dalam suasana keruh. Akhirnya ibu Debora mengerti bahwa kejadian masa lampau yang tidak dia mengerti sangat mempengaruhi suasana hati ibunya. Mungkin ada “luka batin” yang belum tersembuhkan hingga saat ini. Ibunya telah berumur 80 tahun.

Keinginan kuat melakukan perubahan membuat ibu Debora mengambil kesempatan hari Kamis Putih dimana biasa diadakan upacara pembasuhan kaki. Pagi hari, dia bangun, menyiapkan air hangat, mengajak ibunya mandi dan kemudian mendudukkannya di sofa di ruang keluarga. Dengan hati-hati, ditaruhnya baskom dekat kaki ibunya. Perlahan namun mantap dibasuhnyalah kaki ibunya. Ternyata ibunya tidak bersedia. Ia meronta, berteriak, menjambak…..Ibu Debora tidak berhenti melakukan pembasuhan. Setelah selesai, dikeringkannya kaki ibunya dengan handuk, lalu diciumnya kedua kaki ibunya. Dari sudut mata, kelihatan titik bening di pelupuk mata ibunya. Di peluknya ibunya, terasa tangan ibunya membelai rambutnya dan menepuk-nepuk punggungnya. Sentuhan kasih yang hampir tidak pernah ibu Debora rasakan selama 50 tahun! “Sudah ….sudah …” ibu tua itu berkata lirih.

Selesai sharing dengan tenang kami menuju kapel untuk berdoa bersama sambil menyanyikan lagu-lagu Taize. Langkah perlahan kami disambut dengan alunan lagu Laudate Dominum. Ya. Sing and praise the Lord. Kasih-Nya tak berkesudahan bagi mereka yang menaruh harapannya kepada Tuhan. (JDJ)

Friday 6 May 2011

Sepatu

Saya orang yang paling suka pakai sepatu. Ketika orang lain menganggap cukup pakai sandal saja, saya ingin pakai sepatu. Merasa lebih aman, nyaman dan memompa percaya diri. Pagi hari itu, lama saya mengamati sepatu saya. Alasnya sudah mulai rata. Garis-garis yang menunjukkan ketebalan alas sepatu sudah mulai memudar, menyatu dengan bagian lainnya. Bagian belakang di atas tumit warna hitamnya sudah menjadi keputih-putihan. Meski berkali-kali terkena semir, tanda-tanda ketuaan itu tidak dapat disembunyikan lagi. Bagian paling parah adalah pada ujungnya. Sebagian kulitnya sudah mengelupas. Bentuknya yang dulu indah dan mulus sekarang kasar dan kuyu.

Segera saya angkat sepatu tua itu dan menaruhnya di bak sampah depan rumah. Ada yang mengambilnya sedikit siang nanti. Saya buka lemari kecil dekat dapur, saya ambil satu kardus warna putih. Sepatu baru! Memang sudah jadi kebiasaan untuk selalu menyiapkan satu cadangan baru. Saya pakai dengan sigap dan berangkat kerja.

***

Lama saya pandangi perempuan muda itu bersama anaknya melalui jendela mobil. Anaknya cukup lincah berjalan kian kemari meminta perhatian para pengguna jalan untuk sekedar berbagi rezeki. Sementara ibunya asyik memakan nasi bungkus, entah beli sendiri dari hasil meminta-minta atau atas pemberian orang lain.

Ibunya lusuh dengan rambut sebahu yang menggumpal di bagian belakang. Pasti sudah lama sekali tidak keramas. Terkadang dia mendongak dan terlihat bekas-bekas parut di wajahnya. Kecelakaan? Saya tidak tahu. Mungkin juga bekas dianiaya oleh orang. Bajunya yang robek di beberapa bagian coba ditambal sekenanya.

***

Lama saya amati laki-laki itu. Matanya hampir selalu berair karena tangis yang tak kunjung reda. Wajahnya kelihatan lelah dengan gurat-gurat di dahi dan pipinya. Kulitnya memerah. Pakaiannya sebetulnya cukup bersih dan rapi. Tetapi kondisinya amat tidak nyaman untuk dilihat. Ia ada di balik jeruji besi. Kenapakah? Tidak jelas. Saya yang memandangi sedari tadi tidak berani bertanya. Bapak itu masih terus menangis. Tampak begitu sedih. Penyesalan yang sangat dalam ada dalam hatinya.

***

Manusia tidak segampang sepatu untuk diganti. Jelek ganti. Tua ganti. Manusia yang rusak perlu proses berubah. Kadang susah dan menyakitkan. Manusia yang terlanjur terpuruk sering susah untuk bangkit. Manusia perlu kekuatan bukan dari diri sendiri saja. Juga dari Sang Lain. Saya menghela nafas dalam-dalam. Tuhan, ampunilah kami-dan beri kekuatan untuk berubah menjadi lebih baik. Sepatu: diganti; manusia:diperbarui.