Selamat Datang

Salam damai sejahtera dari kami untuk para pembaca sekalian. Blog ini mulai kami buat di awal tahun 2010 dengan tema Melangkah Bersama Tuhan. Nama Blog ini sesuai dengan harapan dan komitmen kami untuk menjalani tahun 2010 bersama dengan Tuhan yang menciptakan langit dan bumi, dan menciptakan manusia sebagai umat kemuliaan-Nya.

Kami akan menyajikan renungan-renungan yang kami buat sendiri berdasarkan pengalaman pribadi, pendengaran dari orang lain yang diolah, maupun dari bacaan-bacaan yang kami dapat.

Selamat membaca, dan semoga membawa berkat bagi Anda semua.

Salam dari kami,

Julianto Djajakartika

Sunday 8 May 2011

Keputusan

Malam hari sebelum tidur tiba-tiba hape saya berbunyi. Seseorang mengirim SMS mengabarkan bahwa di sebuah GKI akan diadakan doa bersama dengan nyanyian Taize. Saya langsung mencatat hari dan jamnya. Beberapa hari kemudian, ternyata dalam Warta Jemaat juga muncul berita yang sama. Doa bersama dengan nyanyian Taize, akan tetapi lokasi bertambah satu buah yang sudah saya kenal. Sebuah SD Katolik di daerah Pasar Baru. Lokasi inilah yang akhirnya menjadi pilihan saya.

Acara dimulai dengan berkumpul di sebuah aula. Tikar-tikar sudah digelar. Bagi yang tidak biasa duduk bersila, dapat menempati tempat duduk berupa bangku panjang di pinggiran aula tersebut. Seorang aktivis mengajak kami bernyanyi tanpa iringan musik. Sesudah beberapa lagu, tampil seorang bruder dari Taize Prancis. Dia membagikan kisah perjalanannya ke beberapa negara, dan kemudian mengajak kami membagi diri dalam beberapa kelompok. Kelompok Kegembiraan, kelompok Belaskasihan, dan kelompok Pengampunan. Saya menggabungkan diri dalam kelompok Pengampunan. Sesuai dengan nama kelompok, kami diminta untuk melakukan sharing. Tentu sharing dalam kelompok saya adalah berkenaan dengan pengampunan. Ada dua sharing yang hendak saya bagikan disini.

Kesaksian-1
Seorang ibu menceritakan pengalamannya. Katakanlah ibu Aping namanya. Ketika dia mengandung anaknya yang ke tiga, kondisi keluarganya sedang dilanda kekacauan. Hubungan dengan suami tidak harmonis, ditambah lagi kondisi ekonomi yang merosot drastis. Oleh karena itu, dia memutuskan untuk menggugurkan kandungannya. Karena ibu Aping seorang yang cukup terpelajar, dia tidak mau sembarangan menggugurkan kandungan. Harus seorang dokter! Begitu pikirnya. Maka dicarilah kesana-kemari dokter yang mau menggugurkan kandungan. Sudah cukup lama mencari tidak seorang dokter pun yang bersedia. Teman-temannya ada yang mengusulkan untuk menggugurkan di bidan atau dukun. Tapi dia menolak. Akhirnya kandungan itu pun semakin besar, dan dibiarkannya lahir dengan normal.

Masalah tidak berhenti disitu. Ibu Aping mengalamai “luka batin” yang mendalam. Dia selalu dihantui oleh rasa bersalah yang luar biasa. Mimpi buruk pun tidak pernah hilang dari tidurnya. Walaupun dia sudah mengaku salah, mengaku dosa dengan seorang romo, tetap hatinya tidak bisa lepas dari rasa bersalah. Di lain pihak, anak ke-3 yang dilahirkan juga mengalami “luka batin” yang sama. Anak ini selalu saja sakit-sakitan. Walaupun ketika dibawa ke dokter, tidak pernah ditemukan ada penyakit dalam tubuhnya. Akhirnya seorang romo memberikan satu nasehat yang sulit. Ibu Aping harus bicara dengan jujur kepada anak ke-3 itu tentang pergumulannya sewaktu mengandung dirinya. Bertahun-tahun ibu Aping menyiapkan mentalnya untuk bicara, sambil menunggu juga kesiapan anaknya. Waktu itu tiba. Dengan dukungan doa dari romo dan teman-temannya, ketika anak itu mulai masuk kelas 1 SMP, berceritalah dia kepada anaknya. Terkejut campur senang, ternyata anak itu dapat menerima segala sesuatu yang diceritakan. “Tidak apa, ma. Segalanya sudah terjadi. Saya sudah dilahirkan. Saya tetap akan menjadi anak yang baik bagi mama dan keluarga.” Meledaklah ibu Aping dengan tangisan bahagia. Dipeluknyalah anak itu. Sejak saat itu, lepaslah segala ikatan rasa bersalah dalam hati ibu Aping. Dan, anak itupun terbebas dari sakit penyakit yang selama ini menggerogoti tubuhnya. Sekarang anak itu telah tumbuh dewasa, sudah bekerja dengan tubuh jiwa yang sehat – dan benar-benar menjadi tumpuan kebahagiaan keluarga tersebut.

Kesaksian-2
Ibu ini tampak sederhana. Wajahnya yang sudah mulai renta menunjukkan guratan duka, namun dibalik itu semua, kelihatan juga cahaya sukacita. Katakanlah dia bernama ibu Debora. Ibu Debora ini juga mengalami konflik dengan ibunya dari sejak kecil. Dia sebagai anak perempuan satu-satunya di tengah tiga anak laki-laki. Konflik yang terjadi antara ibu Debora dan ibunya tidak jelas asal dan awalnya. Hampir semua yang dikerjakan oleh ibu Debora salah di mata ibunya. Maka selalu ada bentakan, koreksi, pengusiran dari rumah, bahkan dibiarkan kelaparan.

Ibu Debora menjalani kehidupannya dari hari ke hari tanpa sukacita ketika berada di dalam rumah. Ketika dia beranjak dewasa dan mulai mengerti apa yang baik dan harus dilakukan, dia pun mencoba melakukannya di rumah. Dari mulai mengerjakan pekerjaan rumah tangga, sampai menyapa dan bicara dengan ibunya. Terkadang suasana tampak baik dan indah, namun tidak berlangsung lama kembali lagi ke dalam suasana keruh. Akhirnya ibu Debora mengerti bahwa kejadian masa lampau yang tidak dia mengerti sangat mempengaruhi suasana hati ibunya. Mungkin ada “luka batin” yang belum tersembuhkan hingga saat ini. Ibunya telah berumur 80 tahun.

Keinginan kuat melakukan perubahan membuat ibu Debora mengambil kesempatan hari Kamis Putih dimana biasa diadakan upacara pembasuhan kaki. Pagi hari, dia bangun, menyiapkan air hangat, mengajak ibunya mandi dan kemudian mendudukkannya di sofa di ruang keluarga. Dengan hati-hati, ditaruhnya baskom dekat kaki ibunya. Perlahan namun mantap dibasuhnyalah kaki ibunya. Ternyata ibunya tidak bersedia. Ia meronta, berteriak, menjambak…..Ibu Debora tidak berhenti melakukan pembasuhan. Setelah selesai, dikeringkannya kaki ibunya dengan handuk, lalu diciumnya kedua kaki ibunya. Dari sudut mata, kelihatan titik bening di pelupuk mata ibunya. Di peluknya ibunya, terasa tangan ibunya membelai rambutnya dan menepuk-nepuk punggungnya. Sentuhan kasih yang hampir tidak pernah ibu Debora rasakan selama 50 tahun! “Sudah ….sudah …” ibu tua itu berkata lirih.

Selesai sharing dengan tenang kami menuju kapel untuk berdoa bersama sambil menyanyikan lagu-lagu Taize. Langkah perlahan kami disambut dengan alunan lagu Laudate Dominum. Ya. Sing and praise the Lord. Kasih-Nya tak berkesudahan bagi mereka yang menaruh harapannya kepada Tuhan. (JDJ)

No comments:

Post a Comment