Selamat Datang

Salam damai sejahtera dari kami untuk para pembaca sekalian. Blog ini mulai kami buat di awal tahun 2010 dengan tema Melangkah Bersama Tuhan. Nama Blog ini sesuai dengan harapan dan komitmen kami untuk menjalani tahun 2010 bersama dengan Tuhan yang menciptakan langit dan bumi, dan menciptakan manusia sebagai umat kemuliaan-Nya.

Kami akan menyajikan renungan-renungan yang kami buat sendiri berdasarkan pengalaman pribadi, pendengaran dari orang lain yang diolah, maupun dari bacaan-bacaan yang kami dapat.

Selamat membaca, dan semoga membawa berkat bagi Anda semua.

Salam dari kami,

Julianto Djajakartika

Friday 19 February 2010

PULIH

“Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” Lukas 23:34a.

Ketika kita sakit, kita ingin segera pulih kembali. Ingin kembali ke keadaan semula yang sehat. Caranya? Dengan memeriksakan diri ke dokter, dengan minum obat, dengan banyak beristirahat, dan makan makanan yang bergizi. Itulah pemulihan karena sakit fisik. Namun ada lagi pemulihan yang diperlukan manusia dalam hidupnya: Pemulihan Relasi. Ketika manusia jatuh ke dalam dosa, maka relasi manusia dengan Tuhannya sudah rusak dan hancur. Ini satu pemulihan yang diperlukan manusia. Ada lagi pemulihan yang lain: pemulihan relasi antar manusia. Ya. Ketika manusia saling berinteraksi satu sama lain, terkadang terjadi gesekan sampai benturan yang menyebabkan kehancuran juga atas relasi antar manusia tersebut. Relasi ini juga penting untuk dipulihkan. Kita akan bahas satu persatu bagaimana sebaiknya memulihkan ke-2 relasi tersebut.

Dalam beberapa dekade terakhir ini, banyak ahli mencoba mendefinisikan apa itu agama. Ada yang bilang bahwa agama adalah ekspresi manusia yang mencari makna (Weber), ada yang bilang bawa agama adalah perekat manusia secara sosial (Durkheim), dan ada juga yang bicara bahwa agama membuat manusia merasa aman dan mampu bertahan dalam kehidupan (Malinoswsky), dan masih banyak lagi. Semua hal itu kemudian coba dirangkum oleh Pdt. Eka Darmaputera dalam bukunya 365 Anak Tangga Menuju Hidup Berkemenangan, hal13-17, bahwa semua agama-agama itu sebetulnya memiliki satu akar yang sama: kedambaan manusia akan hidup yang lebih berarah, bermakna, dan berkelanjutan. Manusia tidak cukup hidup hanya dari roti saja (bnd. Mat. 4:3, baca juga Mazmur 13:2). Agama adalah wujud jeritan manusia untuk kehidupan yang lebih penuh, lebih berarti, lebih abadi. Sampai disini jelas. Manusia sebagai manusia gelisah mencari maknanya sendiri. Manusia gelisah mencari asal-usulnya. Manusia gelisah mencari Penciptanya. Manusia berusaha memulihkan relasi dengan Tuhannya. Namun, tentu saja pekerjaan manusia mencari sang Pencipta menjadi sia-sia saja, karena siapakah manusia ini sehingga mampu menjumpai Tuhan semesta alam?

Religiositas manusia dan pencarian makna hidupnya adalah aspirasi dan kegiatan dari bawah. Namun bukan hanya itu. Karena dalam agama sebetulnya ada dua macam gerakan. Satu dari atas, satu dari bawah. Satu merupakan respon Allah atas kedambaan manusia, satu lagi sebetulnya adalah respon manusia atas prakarsa Allah menjumpai umatnya. Lalu bagaimana mempertemukan dua gerakan atas dan bawah ini? Kuncinya ada pada Kristus. Ketika di atas kayu salib Dia menyerahkan nyawanya, maka terkubur juga seluruh keberdosaan manusia, dan kemudian bersama-sama dengan kebangkitan-Nya, bangkit pula manusia menjadi manusia baru dengan pikiran, perkataan dan perbuatan seperti yang dimiliki oleh Kristus. Singkatnya, apa yang dilakukan oleh Kristus yang adalah Tuhan sendiri adalah: pengampunan. Ungkapan di atas salib seperti yang kami kutip di awal tulisan ini adalah salah satu buktinya. Manusia berusaha memulihkan relasinya dengan Allah, namun sebenarnya Allah sendirilah yang menuntaskan proses itu. Sempurna. Selesai. (bnd. Mazmur 139:7 dan Yohanes 1:14). Untuk memulihkan relasi kita (manusia) dengan Tuhan, maka kita harus m e n e r i m a pengampunan dari-Nya.

Setelah kita mengerti proses pemulihan hubungan antara manusia dan Tuhan, sekarang marilah kita melihat proses pemulihan hubungan antar manusia. Namun sebelum mulai pembahasan kita, pertanyaan dasar yang perlu kita jawab adalah: perlukah pemulihan hubungan antar manusia? Jawabannya memang bisa jadi bervariasi tergantung dengan siapa relasi tersebut terputus. Bila relasi itu biasa-biasa saja, bukan sebuah relasi yang dalam, kemungkinan besar orang justru akan gampang menyambung kembali. Walaupun sebenarnya, dibiarkan juga tidak akan begitu membawa pengaruh dalam kehidupan kita – time will heal – kata banyak orang. Cukup aneh memang. Sering dengan orang yang sangat dekat, yang sangat kita sayangi, justru kesulitan besar yang muncul untuk memulihkan hubungan yang sempat retak. Memang tentu lebih baik menjaga hubungan agar tidak terlanjur retak dan terputus, namun jika keretakan atau putusnya hubungan itu terjadi juga, pemulihan tentu sangat diperlukan walaupun biasanya akan memakan waktu yang lama dan energi yang sangat besar. Pertanyaan mendasar ke dua adalah: apa yang akan terjadi bila pemulihan terhadap orang-orang terdekat tersebut tidak dipulihkan? Biasanya kehidupan orang tersebut akan terganggu, sadar atau tidak sadar. Berat ataupun ringan. Sebagai contoh adalah surat yang ditulis seseorang sebagai berikut:

“Satan keeps me agitated with evil, vengeful thoughts towards my family. I suffered emotional abuse for all the years I was growing up and into young adulthood until I was married. It was horrible at times. I carried the stigma of my parents’ hate and jealousy. I was constantly criticized for everything I did. I was never encouraged. To this day, I wake up with nightmares of getting revenge. If I’m a good Christian, shouldn’t I be able after all these years to forgive them and be free from this awful pain? How can I learn to forgive so that I don’t feel this anger whenever I am around them? Please help me!” (When Forgiveness Seems Impossible).

Betapa sengsaranya orang yang relasinya terputus, namun dalam hati kecilnya ingin lepas dari penderitaan itu. Jadi sesungguhnya, memang relasi yang putus harus dipulihkan, karena pemulihan membawa sukacita dan kelegaan yang sangat luar biasa. Seorang polisi di New York, ditembak oleh seorang penjahat hingga koma selama enam bulan. Penjahat itu tidak pernah ditemukan apalagi ditangkap. Ketika polisi itu sadar dari komanya, dia tidak dapat berbicara karena peluru yang menembus pipinya. Dalam sorotan kamera televisi yang disiarkan ke seluruh Amerika, isteri polisi itu berkata bahwa Steven, demikian nama polisi tersebut, telah memaafkan dan mengampuni segala kesalahan sang penjahat (Why Forgive?). Pengampunan yang diberikan bukan dengan sukacita dan gampangan namun penuh pergumulan dan perjuangan batin yang berat. Namun hasilnya sungguh luar biasa. Bukan hanya tubuhnya sembuh dari berondongan peluru penjahat, namun jiwanya juga disembuhkan. Steven akhirnya menyadari bahwa one of the most beautiful expressions of love is forgiving. Sejak saat itu hidupnya berubah. Segala sesuatu nampak lebih indah, seolah-olah Steven memandang segala sesuatu dengan cara yang berbeda. Hidupnya menjadi lebih berarti: But I can tell you what I’ve seen and experienced personally: once you are able to let go of wrongs that have been done to you, it changes everything. It will change your relationships, your attitudes, your emotional make up-your whole approach to living. It will give you a better life. Bukan hanya itu saja. Ada bonus dibalik itu semua. Sementara orang mencela dan berkata bahwa dengan memaafkan dan mengampuni berarti menunjukkan kelemahan kita atas orang yang telah melukai kita, Steven menegaskan: Plus, you’ll find that when you forgive, you’re always a winner. You don’t lose a thing. Because it’s not a sign of weakness to love somebody who hurts you. It’s a sign of strength. Untuk memulihkan relasi kita dengan sesama, kita harus m e m b e r i pengampunan. Forgiveness does not change the past, but it does enlarge the future demikian kata Paul Boese.

(Tulisan ini adalah bahan renungan yang disampaikan dalam persekutuan remaja-pemuda GKI Kemang Pratama, 6 Februari 2010).


1. Selamat Berpulih, Andar Ismail, BPK Gunung Mulia, 2006
2. 365 Anak Tangga Menuju Hidup Berkemenangan, Eka Darmaputera, BPK Gunung Mulia, 2005
3. Why Forgive?, Johann Christoph Arnold, The Bruderhof Foundation, Inc., 2002
4. When Forgiveness Seems Impossible, Tim Jackson, RBC Ministries, 1994

No comments:

Post a Comment