Selamat Datang

Salam damai sejahtera dari kami untuk para pembaca sekalian. Blog ini mulai kami buat di awal tahun 2010 dengan tema Melangkah Bersama Tuhan. Nama Blog ini sesuai dengan harapan dan komitmen kami untuk menjalani tahun 2010 bersama dengan Tuhan yang menciptakan langit dan bumi, dan menciptakan manusia sebagai umat kemuliaan-Nya.

Kami akan menyajikan renungan-renungan yang kami buat sendiri berdasarkan pengalaman pribadi, pendengaran dari orang lain yang diolah, maupun dari bacaan-bacaan yang kami dapat.

Selamat membaca, dan semoga membawa berkat bagi Anda semua.

Salam dari kami,

Julianto Djajakartika

Thursday 11 February 2010

Pak Darmo

Kamis tanggal 31 Desember 2009 menjelang tengah malam, ketika semua orang sedang bergembira dan bersukacita hendak menyambut tahun baru 2010, telepon genggamku berbunyi. Ada SMS. Aku tidak begitu mempedulikannya. Aku pikir itu pesan singkat dari teman-teman yang mengucapkan selamat tahun baru. Ketika hiruk pikuk, sorak sorai dan letusan kembang api telah mulai sirna, sambil membaringkan badan di ranjang aku mulai membuka inbox telepon genggam. Dari sekian banyak pesan singkat yang aku terima, aku tercenung membaca satu pesan. Melihat waktunya, aku ingat ini pesan yang aku abaikan tadi. Singkat! Benar-benar singkat. “Pak Darmo meninggal dua jam lalu. Dari Lily.” Itu bunyi pesan singkat tadi. Pak Darmo, seorang tua yang tidak mungkin aku lupakan.

*****
Hari itu kelas dibubarkan jauh lebih cepat dari biasa karena para guru akan rapat. Aku berjalan gontai dengan kepala terus menunduk. Kepalaku penuh dengan berbagai pikiran. Kadang tanganku mengepal, kadang air mata membayang di pelupuk mata. Aku tidak berjalan pulang, melainkan menuju ke halaman belakang sekolah. Di sana ada kebun bunga dan pohon mangga yang sangat rindang daunnya. Ketika istirahat, biasa aku datang ke tempat itu, sambil menyantap bekal makan siang. Namun kali ini, bukan untuk makan. Aku mencari pak Darmo.

“Pak! Pak Darmo…!” demikian aku segera memanggil ketika melihat pak Darmo sedang membersihkan rumput di sekitar tanaman kembang sepatu.

“Hai, nak Popo!” Popo memang panggilan akrabku. Walaupun nama asliku adalah Pardiono, tetapi karena tubuhku yang bulat di berbagai tempat, teman-teman kemudian memanggilku Popo. Pertama-tama terasa seperti ejekan, namun akhirnya menjadi biasa. Popo jadi akrab di telingaku. Sampai pak Darmo pun ikutan memanggilku Popo. “Ada apa nak? Kenapa tampak begitu sedih dan tidak gembira? Biasanya kamu menebar senyum kepada semua orang. Bahkan ketika temanmu mengejek dan mengolok-olokanmu, kamu bisa tersenyum…”

“Kali ini tidak biasa pak! Si Andre dan Agus benar-benar kurang ajar. Mentang-mentang mereka punya tubuh yang besar dan tenaga yang kuat, mereka terus-menerus mengejek dan mencemooh aku.” Andre dan Agus adalah teman sekelasku. Badan mereka memang besar, jauh lebih besar dari badanku. Dan mereka sangat kasar. Selain tangan suka memukul, mencubit, mendorong, kaki mereka sering dengan sengaja dijulurkan agar anak lain tersandung dan jatuh. Selain itu, mereka senang sekali mencuri. Hmmm…tepatnya menyembunyikan barang-barang anak lain. Kadang kemudian mereka sendiri lupa telah menyembunyikan barang itu di mana. Itulah yang dilakukan mereka kepadaku selama beberapa hari ini.

“Apa yang mereka perbuat kepadamu?”

“Dua hari yang lalu tanpa aku sadari Andre dan Agus mengambil penggaris kesayanganku. Bayangkan, itu penggaris pemberian tanteku yang sekarang sudah meninggal. Aku sangat menyukai penggaris itu. Ketika aku tanyakan hari ini, mereka dengan tertawa lepas melemparkan penggaris itu yang sudah patah menjadi tiga bagian.” Aku tidak kuasa menahan airmataku. Sambil menahan tangis, aku mengusap mata yang mulai basah dan berusaha menenangkan diri. “Belum cukup dengan perbuatan itu, mereka kembali mencoba mengganggu dengan terus-menerus menarik bajuku ke luar, sambil kadang menarik rambut dan menjitak kepalaku. Pak, aku selalu kalah. Aku bukan anak yang pemberani. Dilecehkan seperti itu juga aku tidak berani melawan. Aku memang anak sial!”

Pak Darmo dengan tenang membenahi peralatan berkebunnya lalu mengajak aku duduk di bawah pohon mangga. “Nak Popo, zaman dulu ada seorang pemuda gembala. Tubuhnya kecil dan perangainya halus. Namun, ketika negerinya diserang oleh musuh dia datang melawan musuh tersebut. Padahal musuhnya seperti raksasa besarnya. Raja sudah memberikan baju perang kepada pemuda kecil itu. Tetapi ketika dicoba, rasanya terlalu berat baginya sehingga tidak leluasa bergerak. Maka baju perang itu ditanggalkan, dan dia pergi dengan baju biasa sebagai seorang penggembala kambing-domba. Ketika dia bertemu dengan musuh yang tinggi besar itu, dia berkata: "Engkau mendatangi aku dengan pedang, tombak dan lembing, tetapi aku mendatangi engkau dengan nama TUHAN semesta alam,…..” Luar biasa memang. Dengan penyertaan Tuhan, pemuda kecil itu berhasil memenangkan pertempuran.” Pak Darmo berhenti sejenak untuk memeriksa apakah aku masih mendengarkan. “Musuh tinggi besar itu bernama Goliat. Ada banyak Goliat sampai hari ini. Pekerjaan paling penting sekarang ini adalah mengalahkan Goliat terbesar di dalam dirimu sendiri.”

“Apa itu Goliat di dalam diri sendiri pak?” Aku mulai tertarik dengan penjelasan pak Darmo.

“Goliat di dalam diri sendiri adalah musuh yang harus diperangi di dalam dirimu. Bisa jadi Goliat itu berupa rasa malu berlebihan, bisa jadi keinginan untuk marah yang tak tekendali, bisa jadi….”

“….keinginan untuk bermalas-malasan!” Aku menyambung dengan cepat. “Ada banyak hal negatif lain dalam diriku pak. Aku mengerti. Itu Goliat-goliat jahat yang mesti dilawan.”

“Betul nak. Namun engkau tidak bisa melawannya sendirian. Seperti pemuda kecil tadi bicara, lawanlah Goliat-Goliat itu dengan nama Tuhan. Hanya dengan pernyertaan-Nya engkau akan mampu mengalahkan Goliat-Goliat itu.” Selesai bicara pak Darmo menepuk pundakku. “Sekarang pulanglah. Camkan baik-baik ucapan bapak tadi. Ibumu pasti sudah menunggu.”

“Baik pak. Terima kasih cerita dan nasihatnya. Aku pasti akan camkan baik-baik.”

“Ya nak. Ketika engkau bertambah besar nanti, engkau akan menghadapi lebih banyak Goliat dalam hidupmu…..dalam dirimu.”

*****
Pak Darmo berumur 82 tahun ketika meninggal. Aku segera mengemas baju-baju seadanya. “Besok aku akan berangkat dengan pesawat paling pagi menuju Semarang, untuk mengantar kepergian pak Darmo.”

No comments:

Post a Comment