Selamat Datang

Salam damai sejahtera dari kami untuk para pembaca sekalian. Blog ini mulai kami buat di awal tahun 2010 dengan tema Melangkah Bersama Tuhan. Nama Blog ini sesuai dengan harapan dan komitmen kami untuk menjalani tahun 2010 bersama dengan Tuhan yang menciptakan langit dan bumi, dan menciptakan manusia sebagai umat kemuliaan-Nya.

Kami akan menyajikan renungan-renungan yang kami buat sendiri berdasarkan pengalaman pribadi, pendengaran dari orang lain yang diolah, maupun dari bacaan-bacaan yang kami dapat.

Selamat membaca, dan semoga membawa berkat bagi Anda semua.

Salam dari kami,

Julianto Djajakartika

Friday 19 February 2010

PULIH

“Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” Lukas 23:34a.

Ketika kita sakit, kita ingin segera pulih kembali. Ingin kembali ke keadaan semula yang sehat. Caranya? Dengan memeriksakan diri ke dokter, dengan minum obat, dengan banyak beristirahat, dan makan makanan yang bergizi. Itulah pemulihan karena sakit fisik. Namun ada lagi pemulihan yang diperlukan manusia dalam hidupnya: Pemulihan Relasi. Ketika manusia jatuh ke dalam dosa, maka relasi manusia dengan Tuhannya sudah rusak dan hancur. Ini satu pemulihan yang diperlukan manusia. Ada lagi pemulihan yang lain: pemulihan relasi antar manusia. Ya. Ketika manusia saling berinteraksi satu sama lain, terkadang terjadi gesekan sampai benturan yang menyebabkan kehancuran juga atas relasi antar manusia tersebut. Relasi ini juga penting untuk dipulihkan. Kita akan bahas satu persatu bagaimana sebaiknya memulihkan ke-2 relasi tersebut.

Dalam beberapa dekade terakhir ini, banyak ahli mencoba mendefinisikan apa itu agama. Ada yang bilang bahwa agama adalah ekspresi manusia yang mencari makna (Weber), ada yang bilang bawa agama adalah perekat manusia secara sosial (Durkheim), dan ada juga yang bicara bahwa agama membuat manusia merasa aman dan mampu bertahan dalam kehidupan (Malinoswsky), dan masih banyak lagi. Semua hal itu kemudian coba dirangkum oleh Pdt. Eka Darmaputera dalam bukunya 365 Anak Tangga Menuju Hidup Berkemenangan, hal13-17, bahwa semua agama-agama itu sebetulnya memiliki satu akar yang sama: kedambaan manusia akan hidup yang lebih berarah, bermakna, dan berkelanjutan. Manusia tidak cukup hidup hanya dari roti saja (bnd. Mat. 4:3, baca juga Mazmur 13:2). Agama adalah wujud jeritan manusia untuk kehidupan yang lebih penuh, lebih berarti, lebih abadi. Sampai disini jelas. Manusia sebagai manusia gelisah mencari maknanya sendiri. Manusia gelisah mencari asal-usulnya. Manusia gelisah mencari Penciptanya. Manusia berusaha memulihkan relasi dengan Tuhannya. Namun, tentu saja pekerjaan manusia mencari sang Pencipta menjadi sia-sia saja, karena siapakah manusia ini sehingga mampu menjumpai Tuhan semesta alam?

Religiositas manusia dan pencarian makna hidupnya adalah aspirasi dan kegiatan dari bawah. Namun bukan hanya itu. Karena dalam agama sebetulnya ada dua macam gerakan. Satu dari atas, satu dari bawah. Satu merupakan respon Allah atas kedambaan manusia, satu lagi sebetulnya adalah respon manusia atas prakarsa Allah menjumpai umatnya. Lalu bagaimana mempertemukan dua gerakan atas dan bawah ini? Kuncinya ada pada Kristus. Ketika di atas kayu salib Dia menyerahkan nyawanya, maka terkubur juga seluruh keberdosaan manusia, dan kemudian bersama-sama dengan kebangkitan-Nya, bangkit pula manusia menjadi manusia baru dengan pikiran, perkataan dan perbuatan seperti yang dimiliki oleh Kristus. Singkatnya, apa yang dilakukan oleh Kristus yang adalah Tuhan sendiri adalah: pengampunan. Ungkapan di atas salib seperti yang kami kutip di awal tulisan ini adalah salah satu buktinya. Manusia berusaha memulihkan relasinya dengan Allah, namun sebenarnya Allah sendirilah yang menuntaskan proses itu. Sempurna. Selesai. (bnd. Mazmur 139:7 dan Yohanes 1:14). Untuk memulihkan relasi kita (manusia) dengan Tuhan, maka kita harus m e n e r i m a pengampunan dari-Nya.

Setelah kita mengerti proses pemulihan hubungan antara manusia dan Tuhan, sekarang marilah kita melihat proses pemulihan hubungan antar manusia. Namun sebelum mulai pembahasan kita, pertanyaan dasar yang perlu kita jawab adalah: perlukah pemulihan hubungan antar manusia? Jawabannya memang bisa jadi bervariasi tergantung dengan siapa relasi tersebut terputus. Bila relasi itu biasa-biasa saja, bukan sebuah relasi yang dalam, kemungkinan besar orang justru akan gampang menyambung kembali. Walaupun sebenarnya, dibiarkan juga tidak akan begitu membawa pengaruh dalam kehidupan kita – time will heal – kata banyak orang. Cukup aneh memang. Sering dengan orang yang sangat dekat, yang sangat kita sayangi, justru kesulitan besar yang muncul untuk memulihkan hubungan yang sempat retak. Memang tentu lebih baik menjaga hubungan agar tidak terlanjur retak dan terputus, namun jika keretakan atau putusnya hubungan itu terjadi juga, pemulihan tentu sangat diperlukan walaupun biasanya akan memakan waktu yang lama dan energi yang sangat besar. Pertanyaan mendasar ke dua adalah: apa yang akan terjadi bila pemulihan terhadap orang-orang terdekat tersebut tidak dipulihkan? Biasanya kehidupan orang tersebut akan terganggu, sadar atau tidak sadar. Berat ataupun ringan. Sebagai contoh adalah surat yang ditulis seseorang sebagai berikut:

“Satan keeps me agitated with evil, vengeful thoughts towards my family. I suffered emotional abuse for all the years I was growing up and into young adulthood until I was married. It was horrible at times. I carried the stigma of my parents’ hate and jealousy. I was constantly criticized for everything I did. I was never encouraged. To this day, I wake up with nightmares of getting revenge. If I’m a good Christian, shouldn’t I be able after all these years to forgive them and be free from this awful pain? How can I learn to forgive so that I don’t feel this anger whenever I am around them? Please help me!” (When Forgiveness Seems Impossible).

Betapa sengsaranya orang yang relasinya terputus, namun dalam hati kecilnya ingin lepas dari penderitaan itu. Jadi sesungguhnya, memang relasi yang putus harus dipulihkan, karena pemulihan membawa sukacita dan kelegaan yang sangat luar biasa. Seorang polisi di New York, ditembak oleh seorang penjahat hingga koma selama enam bulan. Penjahat itu tidak pernah ditemukan apalagi ditangkap. Ketika polisi itu sadar dari komanya, dia tidak dapat berbicara karena peluru yang menembus pipinya. Dalam sorotan kamera televisi yang disiarkan ke seluruh Amerika, isteri polisi itu berkata bahwa Steven, demikian nama polisi tersebut, telah memaafkan dan mengampuni segala kesalahan sang penjahat (Why Forgive?). Pengampunan yang diberikan bukan dengan sukacita dan gampangan namun penuh pergumulan dan perjuangan batin yang berat. Namun hasilnya sungguh luar biasa. Bukan hanya tubuhnya sembuh dari berondongan peluru penjahat, namun jiwanya juga disembuhkan. Steven akhirnya menyadari bahwa one of the most beautiful expressions of love is forgiving. Sejak saat itu hidupnya berubah. Segala sesuatu nampak lebih indah, seolah-olah Steven memandang segala sesuatu dengan cara yang berbeda. Hidupnya menjadi lebih berarti: But I can tell you what I’ve seen and experienced personally: once you are able to let go of wrongs that have been done to you, it changes everything. It will change your relationships, your attitudes, your emotional make up-your whole approach to living. It will give you a better life. Bukan hanya itu saja. Ada bonus dibalik itu semua. Sementara orang mencela dan berkata bahwa dengan memaafkan dan mengampuni berarti menunjukkan kelemahan kita atas orang yang telah melukai kita, Steven menegaskan: Plus, you’ll find that when you forgive, you’re always a winner. You don’t lose a thing. Because it’s not a sign of weakness to love somebody who hurts you. It’s a sign of strength. Untuk memulihkan relasi kita dengan sesama, kita harus m e m b e r i pengampunan. Forgiveness does not change the past, but it does enlarge the future demikian kata Paul Boese.

(Tulisan ini adalah bahan renungan yang disampaikan dalam persekutuan remaja-pemuda GKI Kemang Pratama, 6 Februari 2010).


1. Selamat Berpulih, Andar Ismail, BPK Gunung Mulia, 2006
2. 365 Anak Tangga Menuju Hidup Berkemenangan, Eka Darmaputera, BPK Gunung Mulia, 2005
3. Why Forgive?, Johann Christoph Arnold, The Bruderhof Foundation, Inc., 2002
4. When Forgiveness Seems Impossible, Tim Jackson, RBC Ministries, 1994

Thursday 11 February 2010

Pak Darmo

Kamis tanggal 31 Desember 2009 menjelang tengah malam, ketika semua orang sedang bergembira dan bersukacita hendak menyambut tahun baru 2010, telepon genggamku berbunyi. Ada SMS. Aku tidak begitu mempedulikannya. Aku pikir itu pesan singkat dari teman-teman yang mengucapkan selamat tahun baru. Ketika hiruk pikuk, sorak sorai dan letusan kembang api telah mulai sirna, sambil membaringkan badan di ranjang aku mulai membuka inbox telepon genggam. Dari sekian banyak pesan singkat yang aku terima, aku tercenung membaca satu pesan. Melihat waktunya, aku ingat ini pesan yang aku abaikan tadi. Singkat! Benar-benar singkat. “Pak Darmo meninggal dua jam lalu. Dari Lily.” Itu bunyi pesan singkat tadi. Pak Darmo, seorang tua yang tidak mungkin aku lupakan.

*****
Hari itu kelas dibubarkan jauh lebih cepat dari biasa karena para guru akan rapat. Aku berjalan gontai dengan kepala terus menunduk. Kepalaku penuh dengan berbagai pikiran. Kadang tanganku mengepal, kadang air mata membayang di pelupuk mata. Aku tidak berjalan pulang, melainkan menuju ke halaman belakang sekolah. Di sana ada kebun bunga dan pohon mangga yang sangat rindang daunnya. Ketika istirahat, biasa aku datang ke tempat itu, sambil menyantap bekal makan siang. Namun kali ini, bukan untuk makan. Aku mencari pak Darmo.

“Pak! Pak Darmo…!” demikian aku segera memanggil ketika melihat pak Darmo sedang membersihkan rumput di sekitar tanaman kembang sepatu.

“Hai, nak Popo!” Popo memang panggilan akrabku. Walaupun nama asliku adalah Pardiono, tetapi karena tubuhku yang bulat di berbagai tempat, teman-teman kemudian memanggilku Popo. Pertama-tama terasa seperti ejekan, namun akhirnya menjadi biasa. Popo jadi akrab di telingaku. Sampai pak Darmo pun ikutan memanggilku Popo. “Ada apa nak? Kenapa tampak begitu sedih dan tidak gembira? Biasanya kamu menebar senyum kepada semua orang. Bahkan ketika temanmu mengejek dan mengolok-olokanmu, kamu bisa tersenyum…”

“Kali ini tidak biasa pak! Si Andre dan Agus benar-benar kurang ajar. Mentang-mentang mereka punya tubuh yang besar dan tenaga yang kuat, mereka terus-menerus mengejek dan mencemooh aku.” Andre dan Agus adalah teman sekelasku. Badan mereka memang besar, jauh lebih besar dari badanku. Dan mereka sangat kasar. Selain tangan suka memukul, mencubit, mendorong, kaki mereka sering dengan sengaja dijulurkan agar anak lain tersandung dan jatuh. Selain itu, mereka senang sekali mencuri. Hmmm…tepatnya menyembunyikan barang-barang anak lain. Kadang kemudian mereka sendiri lupa telah menyembunyikan barang itu di mana. Itulah yang dilakukan mereka kepadaku selama beberapa hari ini.

“Apa yang mereka perbuat kepadamu?”

“Dua hari yang lalu tanpa aku sadari Andre dan Agus mengambil penggaris kesayanganku. Bayangkan, itu penggaris pemberian tanteku yang sekarang sudah meninggal. Aku sangat menyukai penggaris itu. Ketika aku tanyakan hari ini, mereka dengan tertawa lepas melemparkan penggaris itu yang sudah patah menjadi tiga bagian.” Aku tidak kuasa menahan airmataku. Sambil menahan tangis, aku mengusap mata yang mulai basah dan berusaha menenangkan diri. “Belum cukup dengan perbuatan itu, mereka kembali mencoba mengganggu dengan terus-menerus menarik bajuku ke luar, sambil kadang menarik rambut dan menjitak kepalaku. Pak, aku selalu kalah. Aku bukan anak yang pemberani. Dilecehkan seperti itu juga aku tidak berani melawan. Aku memang anak sial!”

Pak Darmo dengan tenang membenahi peralatan berkebunnya lalu mengajak aku duduk di bawah pohon mangga. “Nak Popo, zaman dulu ada seorang pemuda gembala. Tubuhnya kecil dan perangainya halus. Namun, ketika negerinya diserang oleh musuh dia datang melawan musuh tersebut. Padahal musuhnya seperti raksasa besarnya. Raja sudah memberikan baju perang kepada pemuda kecil itu. Tetapi ketika dicoba, rasanya terlalu berat baginya sehingga tidak leluasa bergerak. Maka baju perang itu ditanggalkan, dan dia pergi dengan baju biasa sebagai seorang penggembala kambing-domba. Ketika dia bertemu dengan musuh yang tinggi besar itu, dia berkata: "Engkau mendatangi aku dengan pedang, tombak dan lembing, tetapi aku mendatangi engkau dengan nama TUHAN semesta alam,…..” Luar biasa memang. Dengan penyertaan Tuhan, pemuda kecil itu berhasil memenangkan pertempuran.” Pak Darmo berhenti sejenak untuk memeriksa apakah aku masih mendengarkan. “Musuh tinggi besar itu bernama Goliat. Ada banyak Goliat sampai hari ini. Pekerjaan paling penting sekarang ini adalah mengalahkan Goliat terbesar di dalam dirimu sendiri.”

“Apa itu Goliat di dalam diri sendiri pak?” Aku mulai tertarik dengan penjelasan pak Darmo.

“Goliat di dalam diri sendiri adalah musuh yang harus diperangi di dalam dirimu. Bisa jadi Goliat itu berupa rasa malu berlebihan, bisa jadi keinginan untuk marah yang tak tekendali, bisa jadi….”

“….keinginan untuk bermalas-malasan!” Aku menyambung dengan cepat. “Ada banyak hal negatif lain dalam diriku pak. Aku mengerti. Itu Goliat-goliat jahat yang mesti dilawan.”

“Betul nak. Namun engkau tidak bisa melawannya sendirian. Seperti pemuda kecil tadi bicara, lawanlah Goliat-Goliat itu dengan nama Tuhan. Hanya dengan pernyertaan-Nya engkau akan mampu mengalahkan Goliat-Goliat itu.” Selesai bicara pak Darmo menepuk pundakku. “Sekarang pulanglah. Camkan baik-baik ucapan bapak tadi. Ibumu pasti sudah menunggu.”

“Baik pak. Terima kasih cerita dan nasihatnya. Aku pasti akan camkan baik-baik.”

“Ya nak. Ketika engkau bertambah besar nanti, engkau akan menghadapi lebih banyak Goliat dalam hidupmu…..dalam dirimu.”

*****
Pak Darmo berumur 82 tahun ketika meninggal. Aku segera mengemas baju-baju seadanya. “Besok aku akan berangkat dengan pesawat paling pagi menuju Semarang, untuk mengantar kepergian pak Darmo.”

Monday 8 February 2010

Konflik

“Ketika orang Filistin itu bergerak maju untuk menemui Daud, maka segeralah Daud berlari ke barisan musuh untuk menemui orang Filistin itu … (1 Sam. 17:48).

Dalam kehidupan manusia tidak lepas dari masalah. Selalu saja ada masalah yang menghadang, dan sering tidak dapat kita hindari. Oleh karena itu, seperti yang dilakukan Daud di kutipan ayat di atas, masalah harus d i h a d a p i, agar selesai, tuntas, dan membawa kebaikan dan membuat kita lebih piawai lagi dalam menghadapi masalah yang lain. Salah satu masalah pokok dalam kehidupan adalah: Konflik. Konflik juga bisa terjadi di mana saja. Baik di rumah: dengan orang tua atau saudara-saudara, di sekolah: dengan teman-teman dan para guru, di masyarakat: dengan tetangga dan perangkat sosial lainnya.

Konflik sendiri pada dasarnya adalah netral. Bagaimana kita bereaksi, dan apa yang kita lakukan dalam menghadapi konflik itu yang sangat mungkin menimbulkan masalah. Konflik harus ditangani dengan benar, dengan cara yang benar. Konflik memang tidak boleh didiamkan, karena konflik yang tidak selesai akan menimbulkan eskalasi konflik dan berujung pada perpecahan. Namun demikian, ketiadaan konflik dalam satu hubungan antar manusia, bisa jadi berarti bahwa relasi tersebut memang tidak dalam (no meaningful relationship). Umumnya konflik akan terjadi ketika sesorang berusaha mengatur dan mengendalikan orang lain. Konflik juga dapat terjadi bila ada ketidakcocokan nilai-nilai hidup, pandangan hidup dan cita-cita hidup diantara orang-orang yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Di bawah akan kami uraikan sedikit lebih panjang mengenai sumber-sumber terjadinya konflik.

Sumber-sumber Konflik

Ekonomi
Dalam keluarga yang sangat patriakal di mana dominasi laki-laki sangat kuat, bila kemudian dalam perjalanan kehidupan ternyata penghasilan isteri jauh melebih penghasilan suami, tanpa pengelolaan yang bijak, akan terjadi konflik di antara mereka. Bukan hanya itu saja, ketika suami dan isteri tidak dapat menemukan kesepakatan pengelolaan keuangan rumah tangga, konflik juga bisa tidak terhindarkan. Konflik masalah keuangan ini nampaknya banyak terjadi di negara-negara sedang berkembang.

Nilai-nilai dan Pandangan Hidup
Setiap pasangan dari sejak kecil membawa nilai-nilai kehidupannya sendiri. Ini akibat dari pendidikan dan lingkungan dimana masing-masing pernah tinggal dan berkembang. Ketika mereka kemudian dipertemukan dalam sebuah pernikahan, mereka harus saling berbagi nilai-nilai hidup ini. Masing-masing harus berani mendiskusikan nilai-nilai kehidupannya dan memutuskan secara bersama, satu nilai yang mesti dipegang dalam menjalankan bahtera rumah tangga. Contoh yang paling sederhana adalah: bagaimana mendidik dan mendisiplin anak (parenting). Bagaimana menanamkan nilai-nilai keagamaan, dan kesopanan kepada anak-anak. Bagaimana melatih anak untuk mengembangkan fungsi-fungsi sosialnya.

Kendali
Dalam bahasa Inggris sebetulnya yang dimaksud dengan kendali ini adalah power. Namun karena padanan bahasa Indonesianya kurang tepat menggambarkan maksud, kami pakai kata kendali yang memang menggambarkan: keingingan untuk mengendalikan segala sesuatu termasuk orang lain. Keinginan ini merupakan sumber konflik juga. Dalam kendali selalu diasumsikan ada yang lemah dan yang kuat di mana yang kuat mengendalikan yang lemah. Dominasi satu orang atas orang lain, pada satu waktu dapat menghasilkan konflik hebat yang bila tidak tertangani dengan benar akan menimbulkan perpecahan – di manapun itu.

Komunikasi yang Tidak Efektif
Komunikasi yang tidak efektif biasa disebut “tidak nyambung”. Apa yang coba dikomunikasikan ternyata diterima dengan maksud berbeda. Penerimaan yang berbeda ini, kemudian dianggap sebagai pelecehan atau bahkan penghinaan. Dari situ konflik dimulai. Komunikasi menjadi tidak efektif bila salah satu atau kedua orang yang berkomunikasi memiliki prejudice satu dengan yang lainnya. Selain daripada itu ada yang namanya selective perception yang mau didengarkan adalah yang cocok sesuai dengan hati dan pikiran sendiri saja. Atau boleh jadi yang tidak cocok pun didengarkan untuk menyusun argumentasi “anti” melawan pembicaraan the other party.

Demikian sekilas sumber-sumber konflik. Biasanya dalam sebuah konflik bercampur dua atau lebih sumber-sumber ini, sehingga untuk menangani konflik memang harus diketahui dengan tepat sumber mana yang menjadi masalah utamanya.

Jenis-jenis Konflik

INTRA PERSONAL biasa disebut sebagai konflik batin. Konflik dengan diri sendiri atau di dalam diri sendiri. Konflik ini biasa terjadi ketika kita akan menentukan suatu pilihan. Tentu di dalamnya terkandung juga nilai-nilai hidup yang melandasinya. Apakah akan belajar atau nonton bola? Itu satu contoh sederhana. Yang lebih kompleks barangkali adalah apakah akan memilih A atau B atau C sebagai pasangan hidup/pacar.

INTER PERSONAL adalah konflik dengan pihak lain, orang lain. Seperti konflik-konflik yang sudah dijelaskan di atas, kebanyakan konflik adalah dengan pihak lain karena alasan-alasan diatas, baik itu alasan ekonomi, nilai-nilai kehidupan, kendali atau komunikasi yang tidak efektif.

PERAN atau role adalah konflik yang mirip dengan konflik inter personal. Konflik ini adalah karena kekacauan atau ketidakjelasan peran seseorang dalam suatu kelompok atau organisasi tertentu. Dalam keluarga misalnya, peran anak dan peran orang tua tentu berbeda. Konflik akan terjadi ketika peran itu mau dialihkan, anak ingin menjadi seperti orang tua dan sebaliknya. Atau dalam suatu perusahaan, ada peran pengusaha (pemilik) perusahaan, ada peran karyawan. Ada juga jenjangnya – peran sebagai manajer dan peran sebagai leader misalnya. Kekacauan peran akan menimbulkan konflik yang cukup hebat.

Resolusi

Resolusi adalah usaha untuk menangani konflik agar kondisi relasi dapat kembali ke keadaan normal dan wajar. Resolusi selalu mengandung konsekuensi atas keputusan-keputusan resolusi yang diambil.

WIN-LOSE mengindikasikan keinginan untuk menang dalam sebuah konflik. Dengan cara apapun. Sebetulnya resolusi ini adalah yang paling buruk, namun pada kenyataannya justru paling sering dilakukan dalam kebanyakan konflik. Dalam konsisi win-lose ini biasanya salah satu atau kedua belah pihak mencari “teman” untuk mendukung pembenaran dirinya. “Benar, kan yah, dia yang melakukan itu?” adalah salah satu contoh ucapan seorang anak yang ingin mencari dukungan dari ayahnya. Banyak contoh lain yang bisa kita dapatkan dalam pergaulan sehari-hari. Dapat dibayangkan disini bahwa perasaan mereka yang lose pasti tidak enak dan dengan kondisi resolusi semacam ini biasanya relasi tidak tersambung dengan normal dan baik.

LOSE-LOSE adalah kondisi saling mengalah. Ketika seorang anak berkonflik dengan adiknya memperebutkan sebuah permainan, maka resolusi lose-lose adalah kedua belah pihak sama-sama tidak memakai permainan itu, dan masing-masing memilih permainan yang lain. Umumnya kedua belah pihak walaupun sama-sama merasa kurang puas, tetapi konflik tidak berlanjut dan hubungan dapat kembali dibangun di kemudian hari.

WIN-WIN adalah resolusi paling baik dan menyeluruh. Win-win adalah problem solving. Dalam resolusi ini, konsentrasi ke dua belah pihak adalah pada masalahnya. Bukan pada orangnya. Kata-kata dalam bahasa Inggris ini secara tepat menjelaskan maksud win-win. Conflict is a problem to be solved rather than a war to be won. Disini kami (kedua belah pihak yang mengalami konflik) sama-sama melihat masalah apa yang sebenarnya terjadi. Bukan melihat pertentangan antara s a y a dan k a m u. Dengan resolusi ini dapat dicapai konsensus yang sama-sama disetujui, disepakati dengan menekankan pada KUALITAS RELASI jangka panjang bukan hanya mengakomodasi beberapa kepentingan jangka pendek (mutual agreeable decision with an emphasis on the QUALITY of LONG TERM RELATIONSHIP rather than short term accomodation). Perilaku para pihak yang berkonflik hanya ditujukan pada peningkatan kepercayaan dan penerimaan terhadap pihak lain dan bukan peningkatan rasa curiga dan kebencian (attitudes are directed towards an increase of TRUST and ACCEPTANCE rather than escalation of suspicion and hostility). Demi perbaikan relasi jangka panjang itulah, disadari pentingnya resolusi ke-3 ini. Namun demikian, tidak mudah melakukannya. Resolusi ini memerlukan tingkat kesabaran yang sangat tinggi, dan keterampilan mengelola emosi dalam relasi antar manusia, juga keahlian dalam berbagai pemecahan masalah. Terakhir, agar resolusi ini berjalan dengan efektif, diperlukan adanya cinta kasih yang tidak biasa. Dengan resolusi ini, dapat dipastikan para pihak yang berkonflik tetap merasa nyaman satu dengan yang lainnya, dan relasi dapat dikembalikan ke posisi semula, bahkan lebih erat lagi.

Paulus dan Barnabas

Di dalam Kisah Para Rasul, diceritakan bahwa suatu hari Paulus berkonflik sangat hebat dengan Barnabas. Ketika Paulus hendak melakukan perjalanannya yang ke-2, Barnabas mengusulkan agar mengajak serta Markus. Paulus tidak setuju karena Markus pernah “bersalah”. Hal inilah yang menimbulkan konflik hebat antara Paulus dan Barnabas. Akhirnya mereka berpisah. Paulus pergi dengan Silas, dan Barnabas pergi dengan Markus (Kis.15:35-41). Sekilas pintas, nampaknya mereka menggunakan metode lose-lose. Namun, bila kita teliti hubungan mereka lebih lanjut, kita yakin bahwa Paulus dan Barnabas menggunakan metode resolusi win-win. Hubungan mereka berdua tetap erat, bahkan hubungan Paulus dan Markus-pun tetap terjaga dengan baik. “Salam kepada kamu dari Aristarkhus, temanku sepenjara dan dari Markus, kemenakan Barnabas -- tentang dia kamu telah menerima pesan; terimalah dia, apabila dia datang kepadamu –“ Kolose 4:10 dan “Hanya Lukas yang tinggal dengan aku. Jemputlah Markus dan bawalah ia ke mari, karena pelayanannya penting bagiku” 2 Tim. 4:11. Markus inilah yang kemudian menulis Injil Markus.

Sumber Utama: Sources of Conflict and Methods of Conflict Resolution, Ron Fisher, Ph.D., International Peace and Conflict Resolution, School of International Service, The American University, c. 1977, Rev. 1985, 2000